Lutfi Mardiansyah
Lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran Bandung. Angkatan 2009. Aktif di Komunitas Sastra Langkah. Karya puisinya sering dimuat di beberapa media cetak. Beberapa karyanya pun masuk di Antologi Puisi Dari Dasar Jurang (2011).
Alumni SMPN 5 Kota Sukabumi (2005) dan SMA Muhammadiyah (2009). Adalah salah satu sosok yang kreatif dan berkemauan kuat dalam bersastra. Harus dicontoh dan diikuti oleh barudak ForSa5.
Mengaliri Sungai
sebuah sungai membawaku
mengalir pada tubuhmu
mengalir yang mengenali batu-batu
mengalir yang mengitar jalur baru
sambil juga membauri ikan-ikan
membauri malaikat dan peri-peri
menyapa gadis-gadis perawan mandi
dan anak-anak berkecipak main air
sesekali tuhan juga
ikut berenang disana
ia pegang aku di tangan
ia ajarkan bagaimana
mengakrabi sungai:
bagaimana mengalir
bagaimana mendayung
bagaimana tenggelam
bagaimana mengapung
diajarinya aku
menjadi air
menjadi arus
menjadi ikan
menjadi malaikat
menjadi peri
menjadi batu
sesekali menjadi juga matahari
main bias cahaya di sulur-sulur air
membentuk lengkung pelangi
jembatan bagi para kurcaci
sebuah sungai membawaku
mengalir menjauhi tubuhmu
menjauhi tempat tidur kita
menjauhi dunia, menjauhi semesta
tidak berhenti, tidak bermuara
Jatinangor, 30 Maret 2011, 0:58
Kwatrin Pagi Asing
kopi yang telah hilang rasa hangat
mengeluhkan pagi mendung yang gigil
puisi telah habis kita mamah semalaman
ada beberapa kau sisakan lindap ke balik subuh yang kuncup
kita sama diam lupa bagaimana harus menari
kita sama terangkum asing di muka pagi
pada pundak kita burung-burung tak lagi bernyanyi
berpaling mencintai ranting-ranting pohon yang lebih tinggi
kita batu kini berdiam teronggok
tak tersiram matahari
kita tanah yang kejatuhan bayang-bayang semesta
tak mendapat kisah baru lagi
Jatinangor, 1 April 2011
Kwatrin Sebuah Kota
: Sukabumi
di kota ini puisi jadi gerimis
mencerai debu
memanggil lampu-lampu
menyalakan tubuhmu seluruh
tumbuh perdu, bunga akasia
dan ilalang berselimut baju kabut
di siram warna bulan, malam yang padam
mendudukkan kita pada pinggir genangan
kita lihat, bagaimana langit
melepaskan cuaca yang habis dalam ruang
kita dengar, kenangan semakin jauh
berlari mengambil jarak dari sajak
di kota ini puisi jadi bunyi
jalanan tercebur hening
segala yang tinggal dalam ingatan
yang dibenahi kabut lewat cahaya
bulan sampai dibahumu
pada detak hari yang rapuh
melengkapkan kenangan
dengan kelupaan menyudahi cerita
Sukabumi, 5 April 2011
Ziarah Semesta Kurusetra:
Kanda Napak Tilas Baratayuda
: Den Bagoes
Kakanda, bukankah masih kau terdekap ingat
Samar memekik derit pendengaranmu sakit
Sangkakala beriak tiup membasuh udara tanpa sela
Lolongan bebar serigala, anjing, kuda dan gajah
Kelebat kabut wajah kelam serta anyir bau darah
Dua belas purnama gingsir tak bercahaya
Selaksa kancah laga terbuka Baratayuda
Tak sela menyala membakar raga kanda jiwa
Para ksatria, senapati, dan bala tentara
Perang jahanam jadah dua darah putra Pandu
Hari ini, telah lama dibenahi waktu perang usai
Masih juga bisa kau hirup bacin bangkai
Mayat-mayat yang gelimangan tidur abadi
Tak terhargai serta tak punya makna
Kematian demikian liuk menari dalam api
Bagaimana dendam bisa terus terbit membunga
Tiap kali matahari gelisiran terang tanah
Sementara perang tinggal abadi dalam sejarah
Dalam dongeng, dalam mitos, dalam legenda
Kakanda, bukankah masih kau tangkap, walau
Kabur melecut penglihatanmu kian juling dan buta
Pedang dan anak panah saling suar saling beradu
Memandikan semesta Kurusetra getih dan air mata
Yang ruap harum melati layu di cumbu sekarat
Cerun-cerun sendu, kolam merah warnanya pekat
Tempat hari murung berkaca membebar tangisan
Kakanda, benarkah perang telah lama terbenahi
Jika setelah lampau lipatan masa kita kembali
Masih juga terbaui luka bestari belum mau sembuh
Dalam terdekap kenangan meracun di masa lalu
Pada carut kain kebat berlumut darah dan lusuh
Sukabumi, 5 Februari 2011
Pada Lingkar Cahaya
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi udara
Menghantar huruf
Ke pusar kata
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi air
Mengaliri kata
Ke arus makna
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi api
Membakar makna
Ke nyala raga
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi tanah
Mengubur raga
Ke rahim semesta
Sukabumi, 5 Februari 2011
Alumni SMPN 5 Kota Sukabumi (2005) dan SMA Muhammadiyah (2009). Adalah salah satu sosok yang kreatif dan berkemauan kuat dalam bersastra. Harus dicontoh dan diikuti oleh barudak ForSa5.
Mengaliri Sungai
sebuah sungai membawaku
mengalir pada tubuhmu
mengalir yang mengenali batu-batu
mengalir yang mengitar jalur baru
sambil juga membauri ikan-ikan
membauri malaikat dan peri-peri
menyapa gadis-gadis perawan mandi
dan anak-anak berkecipak main air
sesekali tuhan juga
ikut berenang disana
ia pegang aku di tangan
ia ajarkan bagaimana
mengakrabi sungai:
bagaimana mengalir
bagaimana mendayung
bagaimana tenggelam
bagaimana mengapung
diajarinya aku
menjadi air
menjadi arus
menjadi ikan
menjadi malaikat
menjadi peri
menjadi batu
sesekali menjadi juga matahari
main bias cahaya di sulur-sulur air
membentuk lengkung pelangi
jembatan bagi para kurcaci
sebuah sungai membawaku
mengalir menjauhi tubuhmu
menjauhi tempat tidur kita
menjauhi dunia, menjauhi semesta
tidak berhenti, tidak bermuara
Jatinangor, 30 Maret 2011, 0:58
Kwatrin Pagi Asing
kopi yang telah hilang rasa hangat
mengeluhkan pagi mendung yang gigil
puisi telah habis kita mamah semalaman
ada beberapa kau sisakan lindap ke balik subuh yang kuncup
kita sama diam lupa bagaimana harus menari
kita sama terangkum asing di muka pagi
pada pundak kita burung-burung tak lagi bernyanyi
berpaling mencintai ranting-ranting pohon yang lebih tinggi
kita batu kini berdiam teronggok
tak tersiram matahari
kita tanah yang kejatuhan bayang-bayang semesta
tak mendapat kisah baru lagi
Jatinangor, 1 April 2011
Kwatrin Sebuah Kota
: Sukabumi
di kota ini puisi jadi gerimis
mencerai debu
memanggil lampu-lampu
menyalakan tubuhmu seluruh
tumbuh perdu, bunga akasia
dan ilalang berselimut baju kabut
di siram warna bulan, malam yang padam
mendudukkan kita pada pinggir genangan
kita lihat, bagaimana langit
melepaskan cuaca yang habis dalam ruang
kita dengar, kenangan semakin jauh
berlari mengambil jarak dari sajak
di kota ini puisi jadi bunyi
jalanan tercebur hening
segala yang tinggal dalam ingatan
yang dibenahi kabut lewat cahaya
bulan sampai dibahumu
pada detak hari yang rapuh
melengkapkan kenangan
dengan kelupaan menyudahi cerita
Sukabumi, 5 April 2011
Ziarah Semesta Kurusetra:
Kanda Napak Tilas Baratayuda
: Den Bagoes
Kakanda, bukankah masih kau terdekap ingat
Samar memekik derit pendengaranmu sakit
Sangkakala beriak tiup membasuh udara tanpa sela
Lolongan bebar serigala, anjing, kuda dan gajah
Kelebat kabut wajah kelam serta anyir bau darah
Dua belas purnama gingsir tak bercahaya
Selaksa kancah laga terbuka Baratayuda
Tak sela menyala membakar raga kanda jiwa
Para ksatria, senapati, dan bala tentara
Perang jahanam jadah dua darah putra Pandu
Hari ini, telah lama dibenahi waktu perang usai
Masih juga bisa kau hirup bacin bangkai
Mayat-mayat yang gelimangan tidur abadi
Tak terhargai serta tak punya makna
Kematian demikian liuk menari dalam api
Bagaimana dendam bisa terus terbit membunga
Tiap kali matahari gelisiran terang tanah
Sementara perang tinggal abadi dalam sejarah
Dalam dongeng, dalam mitos, dalam legenda
Kakanda, bukankah masih kau tangkap, walau
Kabur melecut penglihatanmu kian juling dan buta
Pedang dan anak panah saling suar saling beradu
Memandikan semesta Kurusetra getih dan air mata
Yang ruap harum melati layu di cumbu sekarat
Cerun-cerun sendu, kolam merah warnanya pekat
Tempat hari murung berkaca membebar tangisan
Kakanda, benarkah perang telah lama terbenahi
Jika setelah lampau lipatan masa kita kembali
Masih juga terbaui luka bestari belum mau sembuh
Dalam terdekap kenangan meracun di masa lalu
Pada carut kain kebat berlumut darah dan lusuh
Sukabumi, 5 Februari 2011
Pada Lingkar Cahaya
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi udara
Menghantar huruf
Ke pusar kata
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi air
Mengaliri kata
Ke arus makna
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi api
Membakar makna
Ke nyala raga
Pada lingkar cahaya
Puisi menjadi tanah
Mengubur raga
Ke rahim semesta
Sukabumi, 5 Februari 2011
Lagu Duduk di Beranda
Bunyi terakhir yang kuingat adalah dadamu tanpa kutang
menelan detik, di puting yang menegang,
sunyi yang bersamaan jatuh senja tersaruk di muka beranda.
Pada meja terbuka: cerutu mati dan cangkir kopi
tidak lagi berangkat mengenang masalalu.
Lagu-lagu serta gumam pahit bergeliat di temaram.
Lampu-lampu muram merayakan malam kali ini berhujan.
Berapa lama waktu kita tidak saling berciuman?
Dan semenjak detik yang resap terakhir ke dalam dadamu
hilang, pakaian kita telah jadi batu dalam persenggamaan
abad-abad yang jadi silam. Dalam kenangan yang tercerai
burai menganak sungai: air mata yang terpisah dari tangis
Kemana perginya hujan yang malam dalam ingatanmu
tak sampai pada batas cahaya bayang-bayang?
Sukabumi, 8 April 2011
Menasbih Hujan
: Tirena Oktaviani
pada ruang yang sedikit
kita melihat hujan yang banyak
semata curah menjatuhi tanah
pada liang yang di gali ombak
tempat kita kelak di kubur
kau bentuk bantal dan tempat tidur
lampu-lampu terbias dan membaur
pada bunyian mengusik
siapa yang memegang janji
direntangnya pada tali rindu
yang lama telah berduri
sudah lagi menyesak
dan hilang rasa peduli
pada tarian yang menyalakan api
di tengah ranjang kita
matahari yang mati
sedang dari celah jendela
pada ruang yang sedikit
kita menasbih hujan yang luput
Sukabumi, 7 April 2011
Monolog Angsa
: Lyla Nur Ratri
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
ia main air sendiri
berkaca di telaga
belajar menghafal
raut wajahnya
serta jumput-jumput
lembut bulu
pada sayapnya sepasang
yang selalu ragu-ragu
direntangkan
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
berenang pada sisi-sisi
danau sunyi
menyusuri tempat
yang telah habis
ia genapi berulangkali
mencari matahari
yang tiap senja tenggelam
sering juga ia
mencari dua kaki pelangi
yang dibentuk
hujan dan udara
sehabis reda
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
biar kau temani aku
berenang merambah
daerah danau mati
kita bikin lengkung
pelangi sendiri
dari rentang sayapmu
dan sayapku di bias cahaya
biar aku tak lagi sendiri
: angsa yang sepi
1/04/11, 3:19
Pure Delight
atap berujar
hujan di luar
sendat mencurah
di senja lindap
cahaya lusuh
sepanjang jalan
melucut kedip
pendar matamu
ikut tenggelam
kita menari
merebah lupa
Sukabumi, 6/04/11, 0:43
Sajak April
: Iffah Adilah
lautan tenang dimatamu
sebentar menenggelam
matahari pada cakrawala jauh
pada senjamu termaktub utuh
kini malam menyisi
pada kita yang diam
sendiri-sendiri
hai, kekasih
kau simpan kemana
gelombang yang kemarin
masih kulihat menari riang
dimatamu, kini cuma udara
bermuat sepi?
(Jatinangor, 1/04/11, 1:08)
Sonet Hujan
hujanmu turun
meluruh langit
membentur puisi
basah kita
bencar debu
antara kata
antara makna
sonder menjeda
disapunya detik
yang berserak
di gaun jingga
gerimis membawa
bunga-bunga
luruh di punda
ke tanah rahim
ceruk dekap
yang lama kita lupa
hujanmu turun
meluntur cahaya
membentur sadar kita
7 April 2011
Bunyi terakhir yang kuingat adalah dadamu tanpa kutang
menelan detik, di puting yang menegang,
sunyi yang bersamaan jatuh senja tersaruk di muka beranda.
Pada meja terbuka: cerutu mati dan cangkir kopi
tidak lagi berangkat mengenang masalalu.
Lagu-lagu serta gumam pahit bergeliat di temaram.
Lampu-lampu muram merayakan malam kali ini berhujan.
Berapa lama waktu kita tidak saling berciuman?
Dan semenjak detik yang resap terakhir ke dalam dadamu
hilang, pakaian kita telah jadi batu dalam persenggamaan
abad-abad yang jadi silam. Dalam kenangan yang tercerai
burai menganak sungai: air mata yang terpisah dari tangis
Kemana perginya hujan yang malam dalam ingatanmu
tak sampai pada batas cahaya bayang-bayang?
Sukabumi, 8 April 2011
Menasbih Hujan
: Tirena Oktaviani
pada ruang yang sedikit
kita melihat hujan yang banyak
semata curah menjatuhi tanah
pada liang yang di gali ombak
tempat kita kelak di kubur
kau bentuk bantal dan tempat tidur
lampu-lampu terbias dan membaur
pada bunyian mengusik
siapa yang memegang janji
direntangnya pada tali rindu
yang lama telah berduri
sudah lagi menyesak
dan hilang rasa peduli
pada tarian yang menyalakan api
di tengah ranjang kita
matahari yang mati
sedang dari celah jendela
pada ruang yang sedikit
kita menasbih hujan yang luput
Sukabumi, 7 April 2011
Monolog Angsa
: Lyla Nur Ratri
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
ia main air sendiri
berkaca di telaga
belajar menghafal
raut wajahnya
serta jumput-jumput
lembut bulu
pada sayapnya sepasang
yang selalu ragu-ragu
direntangkan
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
berenang pada sisi-sisi
danau sunyi
menyusuri tempat
yang telah habis
ia genapi berulangkali
mencari matahari
yang tiap senja tenggelam
sering juga ia
mencari dua kaki pelangi
yang dibentuk
hujan dan udara
sehabis reda
kubayangkan angsa itu
dirimu, kekasih
biar kau temani aku
berenang merambah
daerah danau mati
kita bikin lengkung
pelangi sendiri
dari rentang sayapmu
dan sayapku di bias cahaya
biar aku tak lagi sendiri
: angsa yang sepi
1/04/11, 3:19
Pure Delight
atap berujar
hujan di luar
sendat mencurah
di senja lindap
cahaya lusuh
sepanjang jalan
melucut kedip
pendar matamu
ikut tenggelam
kita menari
merebah lupa
Sukabumi, 6/04/11, 0:43
Sajak April
: Iffah Adilah
lautan tenang dimatamu
sebentar menenggelam
matahari pada cakrawala jauh
pada senjamu termaktub utuh
kini malam menyisi
pada kita yang diam
sendiri-sendiri
hai, kekasih
kau simpan kemana
gelombang yang kemarin
masih kulihat menari riang
dimatamu, kini cuma udara
bermuat sepi?
(Jatinangor, 1/04/11, 1:08)
Sonet Hujan
hujanmu turun
meluruh langit
membentur puisi
basah kita
bencar debu
antara kata
antara makna
sonder menjeda
disapunya detik
yang berserak
di gaun jingga
gerimis membawa
bunga-bunga
luruh di punda
ke tanah rahim
ceruk dekap
yang lama kita lupa
hujanmu turun
meluntur cahaya
membentur sadar kita
7 April 2011