ForSa5: Forum Sastra Remaja SMPN 5 Kota Sukabumi

Lutfi Mardiansyah: Sebuah Antologi

Picture
Dari Dasar Jurang (penerbit ISACBOOK, 2011) adalah sebuah buku antologi puisi kolektif yang penulis-penulisnya terdiri dari anggota Langkah Komunitas Sastra. Dari Dasar Jurang dimaksudkan sebagai wujud nyata dari rangkaian apresiasi karya serta diskusi para Manusia Langkah (sebutan untuk anggota Langkah) terhadap banyak tema dan permasalahan yang ada di masyarakat. Puisi-puisi yang terangkum dalam buku Dari Dasar Jurang ini terikat oleh satu tema, yakni "Aku dan Masyarakat". Tema tersebut dapat terlihat dengan jelas dari banyak puisi yang mengangkat permasalahan-permasalahan dalam masyarakat seperti isu-isu sosial, konflik sosial maupun konflik antar jender. Selain di isi oleh Manusia Langkah, antologi puisi kolektif ini juga diramaikan oleh beberapa penulis dari komunitas lain dan beberapa dosen yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Setiap penulis awalnya mengirimkan naskah berisi sepuluh puisi yang kemudian di sunting dan di pilih lima puisi saja. Berikut puisi-puisi saya yang termaktub di dalam Dari Dasar Jurang:

Lelaki Tua dan Speaker Masjid

Setiap subuh itu selalu ada yang berdialog,
sementara sepi masih saling dekap gelap:
speaker masjid dan udara gigil rendah mengecap.

Seorang tua ringkih tersujud lemah dalam shalat,
terbatuk menelan susah payah jelujur dzikir.
Membangunkan orang-orang yang sama lelap,
tidur tanpa telinga di dasar bantal, mabuk mimpi…

Lelaki tua mendengkur selepas sembahyang itu,
sementara speaker masih mengaji. Tanah tebar cahaya
pertama mengecup. Orang-orang mulai bangun,
menasbih televisi, koran, secangkir kopi dan sarapan pagi.

Rumah ibadah tinggal ruang dongeng belaka.
Ketika speaker masjid sama mendengkur,
dalam lipatan sajadah di mana lelaki tua membatu tidur…

Sukabumi, 4 September 2010

Drama Revolusi

Bagaimana kita belajar melihat derita?
Jejak-jejak menarikan peristiwa
dalam sejarah. Membilas diri,
mencuci muka dengan darah.

Kita tidak mengenal siapa-siapa. Kecuali
sebagian diri yang dengan sengaja
sekali waktu pernah kau khianati.
Bagaimana kita bicara

tentang kebenaran? Bayang-bayang
merah, revolusi di atas meja.
Mata hati, mata mati,
mata kaki, mata belati.
Semalaman kau bergerak
dari gelap ke gelap

menirai gelisah masyarakat. Melahap
mitos seperti setiap pagi memperkosa
surat kabar dan secangkir kopi.
Bagaimana kita bisa mencintai

suara? Siapa punya pilihan,
siapa miliki apa yang mereka sebut?
Tempat duduk empuk?
Lahan tidak bertuan?

Partai-partai berjajar
seperti serdadu garis depan.
Padahal cuma menadah minta
belas kasih serupa pengemis saja.

Sukabumi, 6 September 2010


Ibadah Televisi

Bukan suara adzan dari masjid,
tetapi suara televisi yang sabankali
membangunkannya dari mimpi.
Menyuruhnya supaya lekas mandi
dan gosok gigi, lalu berpakaian rapi:
baju koko, sarung, dan peci putih.
Lalu nongkrong depan tivi.

“Subuh-subuh begini banyak acara
ceramah, tak perlu lagi pergi ke masjid
buat ibadah. Ketemu rois bangkotan
yang ceramahnya itu-itu juga. Cukup
duduk manis sambil ongkang-ongkang
kaki depan televisi.”

Sukabumi, 6 September 2010


Perempuan Bertubuh Kota

Melaju kencang dalam geliat putar roda-rodamu:
nasib, kodrat, jatuh-bangun. Segala bercampuran.
Segala tak karuan. Seperti lebam rupamu. Pupur
tebal, lampu-lampu, membikin topeng diwajahmu.

Cahaya menabur tubuhmu. Melucut kain baju.
Tetapi telanjangmu sekalipun tetap berbaju misteri,
kilau kemilau ragam warna-warni. Pulas-pulas sihir,
pendar-pendar fantasi. Gedung-gedung tumbuh

di dua lenganmu seperti lumut musim hujan.
Lalu penuh seluruh tubuh. Tak menyisa lagi
lahan bagi kulit langsat kuning yang dulu sering
kubayangkan ilalang basah, rumput yang mendesah.
Petani-petani yang bernyanyi dan mencintai tanah.

Kemana bunyi cericit pipit, gelatik, dan merpati
yang ramai setiap pagi di pundakmu terbuka?
Kemana suara gemericik sungai kecil berbatu
sepanjang gerai hitam rambutmu wangi pualam?

Tak kudapat lagi hening danau bening kedipmu,
seperti dulu aku berperahu dayung ke tengahnya.
Surau rumbia pada punggungmu yang dataran rendah
sekarang jalan-jalan bising di gilas roda. Siapa

menyulap payudaramu menjadi sepasang air mancur?
Siapa menebang pohonan di landai punggungmu, kini
berjajar lampu-lampu? Perempuanku, perempuan yang dulu
hijau rumputan basah kain embun. Segala jejakmu menjadi
teka-teki. Menjadi bukan dirimu. Menjadi tak dimengerti.

Sukabumi, 6 September 2010

Perempuan yang Menjadi Kota

Jangan berubah, perempuanku berbau pohonan jati.
Jangan berubah, kau manikam gunung-gunung biru,
harum getah karet, kini cuma gedung-gedung ditubuhmu.

Jangan lari, cahaya. Kunang-kunang di kelingking
petromak di kening, berpendaran kini, tinggal pulasan

warna-warni lampu merkuri. Kabut dulu tempat kau tidur
selimbutan, aroma yang ruah tiap pagi, lembab embun
yang sering kucucikan muka, kini tinggal sisa bauan
sulit dicari penciuman tiapkali. Jangan kau pejam padam
kerlingmu, jangan mengedip. Matamu hitam pualam dahulu,

kini rupa-rupanya semacam pelangi. Kalau kutanya kau
jelmakan apa perempuanku landai bebukit, sulur-sulur
sungai, kini? Kota, katamu, menjadi kota perempuanku…

Sukabumi, 4 September 2010